Thursday, February 20, 2014

Indomaret Di SImalungun

BPPTPM Belum Berani Tutup Indomaret
Sumber METROSIANTAR.com, SIDAMANIK -
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM) Simalungun, belum berani menutup atau menghentikan aktivitas Indomaret di Sarimatondang, Kecamatan Sidamanik. Padahal diketahui, belum ada dokumen izin terkait operasional mini market itu.
Kepala BPPTM Jon Suka Jaya Purba, Senin (17/2) mengakui belum diambilnya tindakan tegas soal usaha itu, karena masih ada pro kontra sesama warga. “Ada masyarakat mendukung dan ada menolak. Jadi kita tidak ingin muncul permasalahan baru,” katanya.
Jon Suka mengungkapkan, beberapa warga memang ada melakukan penolakan karena dinilai merugikan pedagang di sekitarnya. Tetapi ada juga yang setuju karena membantu masyarakat memenuhi kebutuhan, dan tidak perlu lagi pergi ke Siantar untuk mendapatkannya.
“Inilah yang masih dibahas, untuk nantinya diambil keputusan. Kita tidak mau semua masyarakat musuh kami,” ucapnya.
Sementara penanggungjawab Indomaret Sarimatondang Roy Panggabean saat pertemuan beberapa waktu lalu, mengaku pihaknya menunggu kebijakan pemkab apakah menutup operasi atau memberikan kesempatan melengkapi dokumen izin usaha.
“Penolakan berdirinya usaha wajar. Sehingga bila memang harus tutup, surat perintah dari pemkab diakui penting sebagai pertanggungjawaban ke pihak manejemen,” katanya.
Sebelumnya, Camat Sidamanik Suriati Damanik menyebutkan, pihaknya sudah menyerahkan penanganan permasalahan mini market itu kepada BPPTPM “Kalau soal masih beroperasi atau belum tutup, bukan wewenang saya. Lebih baik langsung ditanya ke BPPTPM,” katanya.
Sekedar mengingatkan, Jon Suka Jaya Saragih pernah menegaskan, Indomaret yang beroperasi di Sarimatondang, harus tutup karena masyarakat mengajukan keberatan.
“Walau pun pengembang menyanggupi segala peryaratan. Usaha itu harus tutup sesuai permintaan warga. Selain mematikan toko-toko kecil, pasar tradisional menjadi sepi semenjak ada mini market di daerah itu,” kata Jon Suka, Senin (10/2) lalu.
Dia menerangkan, penolakan masyarakat menjadi pedoman pihaknya belum memproses izin. Sebab dalam pengurusan izin harus berdasarkan Peraturan Presidean (Perpres) Nomor.112 tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan pasar modern dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor.53/M-dag/Per/12/2008.
Dia mengaku pernah mengingatkan pengembang mini market, agar tidak beroperasi sebelum izin terbit. Apalagi terlebih dahulu beroperasi lantas mengurus izin di kemudian hari.
“Inilah dampaknya, karena kehadiran Indomaret harus disesuaikan tempat dan jarak dari pedagang toko maupun pasar tradisional. Sepanjang tidak ada rekomendasi kelurahan, perizinan dipastikan izinnya tidak terbit,” tegas Jon Suka. Dia melanjutkan, pemanggilan pihak pengembang memang sudah direncanakan. Tetapi itu hanya sebatas komunikasi tanya-jawab langsung.
Poin-poin yang menjadi syarat beroperasinya usaha telah dilakukan pengembang seperti persetujuan warga sekitar. Namun tak sedikit pula warga di Sarimatondang menolak aktivitas Indomaret tersebut dengan desakan pemerintah setempat melalui kelurahan dan kecamatan untuk mengeluarkan larangan operasi.
Dia mengingatkan pengembang mini market lainnya, untuk benar-benar mendapat izin dari warga setempat, sebagai dasar rekomendasi pihak kelurahan. Karena pemerintah tidak pernah memberatkan proses izin, sepanjang rekomendasi lurah ataupun camat sebagai bentuk persetujuan warga sekitar lokasi usaha tidak ada.
“Ini mutlak dilakukan. Pedagang pertokoan hingga pasar tradisional patut menjadi acuan rencana pendirian usaha mini market,” tambah Jon Suka.
Rida Maria Pasaribu (38), warga Sarimatondang yang pernah melayangkan surat keberatan mengatakan, penolakan Indomaret karena jelas tidak memiliki izin usaha. Bangunan yang disewa Indomaret, hanya izin rumah toko (ruko).
Bahkan pengelolanya tidak pernah meminta izin kepada tetangga terdekat, terutama para pemilik toko dan warung kecil yang akan terkena dampaknya. “Gara-gara Indomaret ini, usaha kami yang sudah puluhan tahun terancam mati. Lebih baik bertindak. Tak ada alasan pemerintah memberi izin kalau kami warga kebanyakan menolak,” tegasnya. (lud/dho/spy)

Thursday, May 2, 2013

Kapitalis : : Pra dan Pasca Kemerdekaan

Kapitalisme di Indonesia berakar dari sejarah pra-kemerdekaan Indonesia, yakni pada era penjajahan Belanda. Tidak berhenti di situ saja, kapitalisme di Indonesia juga terlihat sangat jelas dalam sistem oligarki pada masa Orde Baru. Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas susunan kapital yang berkembang di Indonesia pada era penjajahan yang terus berlanjut pada masa pasca-kemerdekaan. Pengaruh-pengaruh yang dibawa era kolonialisme kepada struktur kapital Indonesia juga akan menjadi salah satu fokus dalam artikel ini.
            Bermula pada era kolonialisme, sistem kapitalisme yang menghendaki adanya kelas-kelas dalam masyarakat mulai terlihat jelas di Indonesia. Tan Malaka (2008, 16) menjelaskan bahwa kapital di Indonesia pada saat itu memisahkan kota dan desa. Kota sendiri diidentikkan dengan masyarakat maju yang menguasai sumber produksi dan industri. Sementara penduduk desa merupakan pekerja yang menjual jasa ke kota. Pada abad ke-17 dan ke-18, kapitalisme di Indonesia dapat diidentifikasi dengan munculnya kolonialisme, yakni Oost-Indische Compagnie yang menerapkan sistem monopoli di Indonesia (Soekarno 1930, 37). Pada saat itu, rempah-rempah di Maluku dieskploitasi secara besar-besaran. Dilanjutkan pada masa kolonialisme Belanda, Soekarno menyebutkan sistem politik devide et impera (sistem pemecah belah) memaksa rakyat-rakyat Indonesia pada masa kerajaan tunduk terhadap sistem ekonomi yang dimonopoli Belanda. Sistem kapitalisme yang lebih parah terlihat pula pada masa Culturrstelsel (Tanam Paksa) yang mencambuk penduduk kecil untuk tunduk dan bekerja keras, walaupun pada akhirnya mereka hanya mampu meraup sangat sedikit keuntungan, tidak seperti majikannya yang banyak memperoleh laba (Soekarno 1930, 43).
Periode baru kapitalisme disebut juga dengan imperialisme modern. Dalam era ini, Soekarno menjelaskan cara ‘pengedukan rezeki’ baru yang diterapkan pemerintah kolonial. Pengerukkan sumber di Indonesia masih menjadi agenda utama pemerintah kolonial. Hal itu diaplikasikan melalui terbentuknya pasar bagi industri asing di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai lapangan usaha investor asing. Seperti yang diungkapkan Tan Malaka (2008, 48), hal itu tidak lain merupakan usaha eksploitasi sumber untuk memenuhi kepentingan asing. Pada era pasca kemerdekaan pun, aliran usaha asing yang mencoba menembus pasar Indonesia untuk dieksploitasi sudah hadir dari berbagai penjuru dunia, seperti Amerika Serikat dan Inggris yang menjadikan Indonesia sebagai penganut kapital internasional (Malaka 2008, 50). Hal ini terus berkembang pada rezim pemerintahan Soeharto yang disebut juga dengan era Orde Baru.
            Pada tahun 1968, era pemerintahan Soeharto disambut hangat oleh pemerintahan Barat dan para investor asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia (Robinson et.al 2004, 40). Robinson et.al mengungkapkan bahwa Orde Baru pada awalnya merupakan sebuah rezim pemerintahan tegas yang berpatokan pada terpenuhinya kepentingan nasional negara, namun pada akhirnya rezim ini mampu menyediakan lahan bisnis yang kompleks dan menumbuhkan oligarki politik. Bentuk oligarki politik terpampang jelas dari penggunaan Pancasila sebagai ‘azas tunggal’ yang secara tidak langsung menghapuskan kesempatan bagi ideologi lain untuk berkembang di Indonesia. Dalam menghadapi arus investasi dari luar negeri, Orde Baru mengisolasi jalan masuk bagi investor luar negeri dalam beberapa bidang, salah satunya ialah infrastruktur umum (Robinson et.al 2004, 51). Namun, dalam perkembangannya, peran kehidupan ekonomi dipemerintahan seringkali dimanfaatkan oleh anak-anak Soeharto. Pemanfaatan tersebut kemudian melahirkan sistem monopoli yang juga merefleksikan eksistensi kapitalisme, seperti pada sektor plastik dan perminyakan. Karena itu pemerintahan Orde Baru semakin rapuh akibat adanya monopoli yang memberatkan hutang negara. Sistem oligarki yang dianut pemerintahan Orde Baru pada akhirnya juga menjadi sebab jatuhnya rezim Soeharto.
            Melalui penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem kapitalisme di Indonesia berakar dari era kolonialisme Eropa yang sempat memanfaatkan sumber-sumber kekayaan Indonesia dan menjadikan rakyat Indonesia sebagai ‘kerbau’ pekerja. Perkembangan kapitalisme di Indonesia secara tidak langsung telah meresap pada sendi-sendi kehidupan bangsa, seperti yang diperlihatkan oleh era Orde Baru. Dengan demikan, pengaruh yang ditimbulkan era kolonialisme pada struktur kapital di Indonesia sudah bisa dikatakan sangat besar.
Referensi:
Soekarno, Ir. 1930. Imperialisme di Indonesia, dalam Risalah ‘Indonesia Menggugat’, dari pidato di depan Pengadilan Landraad di Bandung.
Malaka, Tan. 2008. "Kapitalisme Indonesia"' dalam Aksi Massa, Yogyakarta: Narasi, pp 45-54
Robinson, Richard dan Vedi R, Hadiz. 2004. "The Genesis of Oligarchy: Soeharto's New Order 1965-1982", dalam Reorganising Power in Indonesia the Politics of Oligarchy in an Age of Markets, New York: Routledge Curzon, pp 136-167.
 

2013 © Raya-Mart

Designed by | raya-mart
Supported By | raya-mart/

eheeemm.... | Terima Kasih